Foto : Ilustrasi. |
Tidak
adanya pengawasan yang ketat dari pemerintah ,mengakibatkan penyebaran
Antibiotik menjadi tidak terkendali. Sebagian besar masyarakat Indonesia
mempunyai persedian Antibiotik tanpa resep dokter di rumah. Hal ini sangat
berbahaya karena jika mengkonsumsi antibiotik sembarangan dikhawatirkan terjadi
resistensi bakteri terhadap antibiotik.
“Dalam
penelitian dari isolat klinik di Bandar Lampung sejak tahun 2003-2008 didapatkan
sekitar 31-76,5 persen Escherichia coli
penyebab infeksi resisten terhadap beberapa antibiotik, khususnya terhadap B-laktam,” kata guru besar tetap di
Bidang Mikrobiologi Kedokteran pada Program Studi Pendidikan Dokter FMIPA
Unila, Efrida.
Efrida mengatakan selama kurun waktu 32 tahun
bergelut dengan bidang mikrobiologi kedokteran, dia melihat adanya pergeseran
dan peningkatan penyakit infeksi oleh flora normal usus seperti Escherichia coli (E-coli). Menurut Erfida Perkembangan
tersebut sebagai ungkapan tanggung jawab insan profesional yang berkecimpung di
bidang mikrobiologi kedokteran.
Baik secara mandiri maupun
kelompok ia bermaksud menyampaikan pesan kepada khalayak untuk mewaspadai
infeksi Escherichia
coli
resisten
antibiotik dan peran laboratorium mikrobiologi klinik dalam pengendaliannya.
“ Perlu perbaikan pemakaian
antibiotik baik di masyarakat maupun di rumah sakit. Pemakaian antibiotik harus
berdasarkan resep dokter dan dimakan sesuai aturan. Selain itu, perlu adanya quality control terhadap mutu antibiotik dan membuat pedoman
peraturan pemakaian antibiotik secara bijak,”katanya.
Efrida menambahkan agar tidak memaksa dokter untuk menuliskan resep
antibiotik.
"Bila harus mengonsumsi antibiotik maka makanlah sesuai
aturan, petunjuk, baik dalam hal waktu, dosis, cara pemakaian,"tambahnya.
Menurutnya
semakin tidak terkendalinya penyebaran antibiotik dikalangan masyarakat semakin
banyak pula resiko sakit yang sulit disembuhkan semakin besar. “Mereka lebih
memilih membeli obat langsung ke apotek, hal ini disebabkan karena jika pergi
ke dokter memerlukan biaya yang cukup besar, sedangkan apabila memilih pergi ke
puskesmas yang notabene-nya tidak
perlu mengeluarkan biaya yang cukup besar, namun kita harus sabar untuk
mengantri yang cukup menyita waktu kita,”jelasnya saat ditemui Jurnalpos, Sabtu (14/05/2016).
Efrida
mengungkapkan ada beberapa hal yang harus diketahui masyarakat umum yang hendak
membeli obat antibiotik tanpa resep dokter, yaitu akan semakin melemahnya efek
obat antibiotik untuk menyembuhkan penyakit yang seharusnya bisa sembuh dengan
obat antibiotik tersebut.
“Hal ini akan menyebabkan sakit yang
berkepanjangan kepada orang tersebut, lebih parah lagi apabila kita sering
mengkonsumsi obat antibiotik tanpa resep dokter dan tidak tahu cara pakai yang
benar,” ungkapnya.
“Jika
kita mengkonsumsi obat antibiotik yang tinggi tingkat penyembuhannya, maka kita
akan memperoleh efek positifnya yaitu penyakit kita akan sembuh lebih cepat,
tetapi efek negatifnya yaitu kita akan ketergantungan oleh obat antibiotik itu,”tambahnya.
Efrida
mengharapkan masyarakat dapat lebih bijak dalam mengobati diri sendiri dan
dihimbau jangan mengkonsumsi obat antibiotik, karena antibiotik hanya boleh
dipakai bila penyakit yang kita derita termasuk ke dalam penyakit berat dan
membutuhkan waktu yang lama untuk menyembuhkannya.
“Perlu
diketahui bahwa antibiotik harus diminum sampai habis sesuai yang diresepkan
walaupun keadaan sudah membaik, dan penggunaannya harus tepat. Jangan sampai
sakit yang disebabkan bukan oleh bakteri, seperti virus (salesma dan influenza)
mengkonsumsi antibiotic,”tutupnya.
Reporter : Solehan Yusuf
Redaktur : Zaira Farah Diba
terima kasih atas artikel anda yang menarik dan bermanfaat ini. semoga memberikan manfaat bagi pembacanya. saya memiliki artikel sejenis yang bisa anda kunjungi di sini psikologi
ReplyDelete